Sunday, 17 March 2013

PELAJAR SUBJEK PERADABAN

(Sebuah Renungan) Ketika masyarakat Indonesia meramaikan perayaan Hari Kebangkitan Nasional yang ke 100 Tahun pada bulan lalu, ternyata masih banyak problem yang belum terselesaikan. Ditengah hiruk pikuk perayaannya ternyata kita melupakan jati diri sebagai bangsa besar. Bentuk terlupanya jati diri adalah tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya. Maksud penulis “tidak menempatkan para pelajar sebagai subyek peradaban”. Meskipun kurukulum KTSP memberikan kesempatan kepada para pelajar untuk berkembang dan memilih masa depannya, namun terkadang komponen pendidikan belum siap pada perubahan system pendidikan ini. Pelajar masih dijadikan bank ilmu pengetahuan. Kalau boleh meminjam istilah Paulo Freire pelajar tetap menjadi orang yang terjajah. Mereka harus mendengarkan, mengikuti semua yang diperintahkan guru, dan segudang peraturan lain yang terkadang menegkang kreatifitas pelajar. Di samping itu dalam kontruksi sosial yang terbangun selama ini, ada penempatan yang tidak proporsional terhadap para pelajar. Pelajar adalah anak manis yang tugasnya belajar, bermain dan bersenang-senang. Pelajar ditempatkan sebagai orang yang sedang disiapkan memasuki dunia kerja. Berfikir tentang politik, membincangkan problem sosial di lingkungannya atau bicara tentang bisnis, cara bertani yang baik dan segala implikasinya bukanlah tugas pelajar. Tugas pelajar ya belajar saja! Selain itu? Nikmatilah hidup ini selagi masih muda, selagi belum disibukkan dengan bekerja. Kontruksi seperti ini sesungguhnya pengingkaran terhadapa hakikat eksistensial pelajar sebagai sejarah dan dan peradaban. Sebagai subjek, pelajar mesti memiliki dan mengembangkan dirinya dengan rasa tanggung jawab serta kesadaran kritis. Sangat disayangkan pada masa kini pelajar tumbuh dalam situasi masyarakat yang sedang sakit, tidak mengedepankan nurani, para elit memanfaatkan kepatuhan Paternalistik dengan memutar-balikan wacana dan masyarakat menjadi penikmat kesenangan-kesenangn instant dan semu. Bisa kita lihat hasil dari semua itu para pelajar menjadi tersihir oleh mimpi yang terlahir dari budaya itu. Semua itu mematikan kesadaran kritis pelajar sehingga mereka menjadikan hal-hal yang dangkal sebagai pusat kesadaran dan nilai diri (Self Value). Lihatlah pakaian, Hand Phone, Motor dan aksesoris mereka. Mereka terus menerus terobsesi untuk tampil mewah supaya bisa dihargai temannya. Kondisi di atas hanya dapat dirubah oleh para pelajar dan orang yang konsen dalam dunia pendidikan yang mau menjadikan pelajar sebagai subyek sejarah dan peradaban. Ingat bahwa perubahan butuh “Orang gila” yang tidak memikirkan bagaimana nantinya sambutan public yang menjadi orientasinya. Dan bukan kegilaan itu sendiri mejadi tujuannya. Melainkan hati nuranilah yang membimbingnya, dan membuatnya menjadi orang gila. Pelajar sebagai subyek peradaban merupakan kemauan yang langka dan ini sangat mungkin dianggap sebagai pemikiran gila. Namun hal ini sangat dibutuhkan melihat situasi dan kondisi pendidikan saat ini. Tantangan pelajar di masa depan lebih berat dari pada tantangan yang berlaku pada zaman guru mereka. Oleh karena itu model dan system yang diterapkan pun harus berbeda dengan zaman guru mereka. Evaluasi pendidikan seharusnya menjadikan mutu keilmuan dan wawasan serta pengalaman pelajar semakin meningkat. Guru yang berhasil adalah yang dapat memotivasi pelajarnya menjadi subyek peradaban dan dapat berbuat sesuatu untuk bangsa dan negaranya. Marilah kita semua bangkit menjadi orang siap menjadikan pelajar sebagai subjek peradaban. Karena pelajar sebagai komponen kaum muda dijadikan sumber inspirasi dan semangat oleh pendiri Negara kita (Soekarno) untuk membangun sebuah peradaban. “Berikan kepadaku seribu orang tua, aku akan cabut semeru dari akarnya. Tetapi berikan kepadaku sepuluh orang anak muda, akan aku goncangkan dunia. Kata-kata itu terlihat tanpa makna jika kita tidak membelalakkan mata untuk melihat ternyata perubahan rezim di Indonesia semua ada campur tangan aksi pelajar (termasuk Pelajar Universitas). Semua perubahan di Indonesia sejak proklamasi, bangkitnya orde baru, dan lahirnya reformasi ternyata dimotori oleh pelajar dan pemuda secara umum. Kalau kita telisik lebih dalam peran pelajar (pemuda secara umum) ternyata tidak ada satu fase sejarah yang tidak ada campur tangan pelajar. Mereka menorehkan peradaban yang gemilang. Kita tunggu kegemilangan peradaban yang akan ditorehkan pelajar kita. Ditulis oleh Tumijan 2008 dengan menyadur berbagai sumber

No comments: